Pengerukan Batang Arau Tahun 1905

INGAT BATANG ARAU, terkenang dayung Palinggam. Sungai (Batang) Arau adalah salah satu ikon kota Padang, sejak dahulu, tapi sayang tak sampai kini. Di tepinyalah kota Padang bermula dibuat, yang kemudian berkembang ke arah utara. Keindahan Batang Arau diabadikan dalam banyak teks klasik mengenai kota Padang, tak terkecuali dalam narasi novel-novel Indonesia modern karya para sastrawan asal Minangkabau. Ah… terbayang ketika Samsul Bahri menggenggam jemari Sitti Nurbaya yang halus dan runcing bulu landak itu saat menaiki biduk penyeberangan ketika sejoli yang sedang dimabuk cinta itu hendak pergi pelesiran ke Gunung Padang.

Di zaman kolonial, tak mudah mendirikan bangunan di sekitar pinggiran Batang Arau, karena daerah itu direncanakan menjadi kawasan pelabuhan. Pemerintah kolonial Belanda selalu memperhatikan sedimentasi muara Batang Arau, supaya kelancaran lalu-lintas kapal tetap terjaga. Tradisi ini jelas dibawa dari Belanda di mana ribuan kanal berselang-seling yang setiap hari dilalui kapal dan perahu. Adalah biasa melihat mesin pengeruk (baggermachine) sedang bekerja di kanal-kanal di Belanda untuk mengeruk sedimentasi supaya kanal-kanal itu tidak menjadi dangkal.

Foto klasik yang merekam pengerukan Batang Arau dengan mesin pengeruk. Foto ini (8 x 12,7 cm.) dibuat sekitar tahun 1905 dalam bentuk kartu post (prentbriefcaart). Mesin pengeruk diletakkan di sebuah kapal tunda. Sementara kapal tunda yang lain bersandar di sisinya untuk menampung hasil kerukan. Jika sudah penuh kapal itu berlayar ke suatu tempat dimana lumpur hasil kerukan akan dibuang, kemudian kapal itu kembali lagi untuk menampung hasil kerukan berikutnya. Dengan adanya pengerukan secara periodik, muara Batang Arau kelihatan bersih dan kedalamannya tetap terjaga yang memungkinkan muaranya itu tetap dapat dilayari oleh kapal-kapal berukuran sedang.

Kini kedua pinggir Batang Arau kelihatan bacilupu (kotor) oleh lumpur yang bercampur sampah. Jika kita jalan-jalan pada malam hari di jembatan Sitti Nurbaya, kelihatan pelabuhan Batang Arau cukup cantik. Tapi kita akan memperoleh kesan sebaliknya jika melihatnya dari tempat yang sama pada siang hari. Sedimentasi yang dibawa oleh banjir dari hulu telah mendangkalkan muara sungai itu. Lumpur yang menebal di kedua pinggirnya kelihatan hitam dan bau karena pencemaran akut. Bangkai kapal-kapal usang yang sudah karam dibiarkan tenggelam dimakan lumpur. Anehnya, di atasnya, sedikit menjorok ke tengah sungai, berdiri sebuah kafe mewah untuk makan-makan dan minum, yang menunjukkan selera rendah pemiliknya. Konon keberadaan kafe mewah itu menghalangi lalu-lintas kapal di muara Batang Arau. Tapi tak ada yang bisa memindahkan kafe mewah itu, walau terdengar telah diprotes oleh banyak pihak dan otoritas Pelabuhan Muara Padang. Mungkin pemilik kafe itu orang bagak di kota Padang.

Di zaman kemerdekaan ini, muara Batang Arau justru jauh lebih kotor, lusuh, dan tak terawat. Ironis!



sumber:
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden)

0 Comments


EmoticonEmoticon