Ayam Gadang dari Minangkabau

TIOK LASUANG BAAYAM GADANG, begitu bunyi satu ungkapan Minangkabau lama. Dalam konteks ini, maksudnya adalah bahwa setiap etnis melahirkan beberapa orang yang kesohor di tingkat nasional maupun internasional. Dan Minangkabau jangan ditanya lagi tentang itu. Mengenai hal itu Jeffrey Hadler dalam bukunya Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism (2008) menulis: Peta jalan kota mana pun di Indonesia pastilah berisi jalan-jalan raya dengan nama Haji Agus Salim (lahir 1884), negarawan dan menteri luar negeri; Mohammad Hatta (lahir 1902), wakil presiden pertama; Muhammad Yamin (lahir 1903), filsuf nasionalis; Muhammad Natsir (lahir 1908), politikus Islam; Hamka (lahir 1908), ulama; Sutan Sjahrir (lahir 1909), sosialis dan perdana menteri pertama; Rasuna Said (lahir 1910), pemimpin revolusioner dan politikus; dan, bila sensor Soeharto lalai, Tan Malaka (lahir 1896), filsuf revolusioner komunis. Rakyat Minangkabau sangat bangga akan pemimpin-pemimpin generasi pertama ini beserta sejumlah besar politikus, ulama, dan cerdik cendekia Minangkabau yang kurang terkenal tapi yang juga punya peran penting dalam sejarah Indonesia. Orang Minangkabau, yang pada tahun 1930-an hanya berjumlah 3.36 persen (sekitar satu juta jiwa) dari total penduduk Hindia Belanda, begitu mendominasi sejarah nasional. Mereka memainkan peran utama dalam pergerakan nasionalis dan pergerakan Islam, dan merekalah pemberi warna dunia sastra dan budaya Indonesia.
 
Foto tiga orang ayam gadang Minangkabau, benih-benih terbaik dari ranah matrilineal terbesar di dunia ini, yang telah berjasa besar terhadap Republik Indonesia. Mereka adalah (dari kanan ke kiri): Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Muhammad Hatta. Sedangkan Amir Sjarifuddin (pakai dasi), yang berdiri paling kiri, berdarah Batak (lihat: Jacques Leclerc, Amir Sjarifuddin; Antara Negara dan Revolusi, 1996). Cukup unik bahwa ketiga ayam gadang Minangkabau itu sama-sama memakai jas panjang ala Eropa. Mungkin Bukittinggi pada waktu itu cukup sejuk seperti suhu pada musim gugur di Eropa.

Konteks historis foto ini adalah tahun 1948, waktu Belanda melakukan aksi polisionil terhadap Republik Indonesia yang masih bayi. Pada tanggal 9 Januari 1948 Sutan Sjahrir (penasihat Presiden Soekarno) tiba kembali di Jakarta setelah mengunjungi sejumlah negara selama enam bulan. Bersama Haji Agus Salim (Menteri Luar Negeri) dan Amir Sjarifuddin (Perdana Menteri) ia berangkat ke Bukittinggi (ibukota Republik Indonesia di Sumatra). Di sana mereka bertiga berjumpa dengan Muhammad Hatta yang telah berkeliling Sumatra dan berkunjung ke India. Amir Sjarifuddin berkunjung ke Sumatra Barat untuk menjemput Wakil Presiden Muhammad Hatta karena ia memerlukan dukungan Hatta untuk merampungkan persetujuan Renville yang sedang dalam perundingan.

H. Agus Salim, Hatta dan Sjahrir, tiga putra Minangkabau terbaik, dikenang karena kesederhanaan mereka. Sejarah telah mencatat bahwa mereka tak ragu-ragu meninggalkan kekuasaan bila gerak gerik kekuasaan itu sendiri sudah tidak sesuai lagi dengan hati nurani mereka. Mereka tak lena oleh uang berkebat, apalagi yang berbentuk komisi ini dan itu yang diserahkan dalam bentuk amplop yang disuruk-surukkan. Mereka adalah teladan dan cermin terus yang dilupakan oleh kebanyakan politikus negeri ini sekarang. Duhai, di manakah orang-orang seperti mereka dapat dicari dalam ranah politik Indonesia kini, yang sudah kelam oleh celaga korupsi dan makin carut-marut tak berkeruncingan.



sumber:
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: H Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir; Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, 1909-1966. Jakarta & Leiden: Kompas & KITLV Press, 2010: 110).

0 Comments


EmoticonEmoticon