Pasar Raya Kota Padang (Padang Theater) Tahun 1980

Foto ini kami kutip dari forum facebook ‘Sumatera Barat Tempo Dulu’. Orang Minang, di kampung dan di rantau, tentu cukup akrab dengan foto ini, yaitu rekaman visual Pasar Raya Padang yang kini sudah tidak berkeruncingan lagi bentuknya karena hampir rarak terai dihoyak gempa gedang tahun 2009 dan karena kekurangbecusan Pemda Kota Tercinta ini menatanya.

Pasar Raya Kota Padang (Padang Theater) Tahun 1980

Foto ini mungkin dibuat sekitar akhir 1970-an atau awal 1980-an. Sekitar 100 orang men-share foto ini dan lebih dari 500 orang memberi komentar, yang tampaknya kebanyakan dari mereka adalah perantau Minang. Komentar-komentar mereka umumnya merefleksikan kerinduan perantau Minang kepada ranah bundo. Komentar-komentar itu mengilatkan nostalgia yang dalam terhadap Pasar Raya Padang atau ibukota Sumatera Barat pada umumnya yang waktu itu dianggap sangat bagus, bersih, dan asri.

‘Nostalgia’ dan ‘kerinduan’ (longing) adalah dua aspek psikologis yang tentu akrab dengan perantau Minang. Nostalgia adalah ‘the sad mood originating from the desire for the return to ones native land’, kata Johannes Hofer dalam disertasinya (1688). Kerinduan mungkin merupakan representasi dari kedambaan atas ‘rumah’ yang otentik. Setidaknya hal itulah yang terefleksi dalam komentar-komentar terhadap foto ini.

‘[Kini] pasar [ini] semrawut’, kata penanggap Sari Setiarini. ‘Pasar yang membanggakan, ekonomi yang di pegang anak negeri… Kalau sekarang? [Entahlah]‘, tulis penanggap Andy N. Silvi pula. Para penanggap yang lain mengenang bioskop, pasar burung, dan taman-taman bacaan yang berlokasi di tingkat dua bangunan ini, tempat anak-anak muda melewatkan hari-hari mereka dengan menonton film-film India dan film-film Cina dan membaca komik dan buku-buku roman, juga mencari kliping-kliping koran dan buku-buku pelajaran untuk bahan studi yang sering dapat dibeli atau disewa dari taman-taman bacaan itu. Penanggap Finaldi Rusli menulis: ‘Dulu mamak Ambo manggaleh di siko, toko MADJU, manjua alat tulis’ dan penanggap Azhari Boerhan mengingat di lantai atas bangunan ini ada bioskop Padang Theater dan toko ATK / percetakan Bunga Tanjung, dan di bawah ada deretan bendi dan becak barang yang menunggu para penumpang dengan tertib. Kini keadaan kawasan ini seperti tanpa aturan dan karengkang–pengkang, pertanda kedisiplinan manusia tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat kemodernannya.

Sejarah kota, dan sejarah kebudayaan manusia pada umumnya, adalah alunan pasang naik dan pasang surut. Padang juga tidak dapat mengelak dari pengaruh riak alun zaman itu. Pemerintah kota setempat dan warga kotanyalah yang akan menentukan apakah kota itu akan jadi rancak atau lusuh. Dan…pada akhirnya adalah tangan Tuhan lewat kuasa alam.


sumber: Suryadi – Leiden, Belanda (Sumber foto: fb Sumatera Barat Tempo Dulu)

0 Comments


EmoticonEmoticon