PAKAIAN PENGANTIN di Minangkabau banyak jenisnya, yang sampai batas tertentu merefleksikan adaik salingka nagari. Namun kesan umum yang tampak adalah bahwa dalam berbagai jenis pakaian pengantin Minangkabau penggunaan benang emas biasanya sangat mencolok.
Rubrik kali ini menampilkan pakaian pengantin dari Sungai Puar. Nagari Sungai Puar (Sungai Pua dalam bahasa Minang ragam lisan) terletak di lereng sebelah barat Gunung Merapi, sekitar 10 km. dari Bukittinggi. Nagari ini terkenal tidak saja karena alamnya yang indah dan kerajinan tembikarnya, tapi juga perannya yang penting di zaman kolonial (misalnya orang Sungai Puar terkenal pintar membuat bedil). Tuanku Laras Sungai Puar, Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman, adalah laras yang tergolong sangat kaya dan berpengaruh di Padang Darat pada akhir abad ke-19.
Kedua foto ini (yang sebelah kiri berukuran 16×9,5 cm. dan yang sebelah kanan berukuran 15,5×9,5 cm.) dibuat tahun 1890. Mat kodaknya bernama Th. F.A. Delprat. Tampak bahwa pakaian marapulai (pengantin laki-laki) terdiri dari sisampiang dari songket balapak. Sedangkan baju dalamnya model kerah tutup yang dilapisi lagi dengan baju lengan panjang tanpa giwang. Celana panjang yang ditutup dengan sisampiang dipererat lekatnya dengan ikat pinggang besar yang biasanya dibuat dari logam seperti perak atau kuningan. Di situ, di bagian depan, diselipkan sebilah keris yang sarung dan tangkainya penuh ukiran. Kepala marapulai ditutupi dengan saluak runcing yang bentuknya cukup unik.
Anak daro (penganten wanita) memakai kain dan baju yang khas pula. Kasutnya yang menutup bagian depan kaki cukup bagus dan cukup berbeda dengan kasut yang dipakai marapulai. Galang gadangnya sangat besar dan mencolok. Bagian leher penuh dengan untaian perhiasan berlapis-lapis yang terbuat dari emas dan perak. Sunting di kepala anak daro kelihatan cukup unik pula bentuknya. Sunting seperti itu sudah jarang kita lihat sekarang. Sementara di tangannya terdapat semacam pundi-pundi kecil dengan untaian giring-giring berumbai-umbai. Baik anak daro maupun marapulai kelihatan pula memegang bongkahan salapah, tanda penjemputan oleh andan-pasumandan kedua belah pihak.
Terlalu banyak emas dan perak beruntai-untai menghiasi pakaian penganten Minangkabau. Mungkin karena pakaian penganten adalah salah satu simbol hidup badunia. Wanita Minangkabau sudah dari dulu dimanjakan dengan emas. Ida Pfeiffer, seorang wanita pengelana Jerman yang melintas Luhak Agam dalam perjalanannya ke Tanah Batak pada 1850 terkesima melihat banyak wanita Minang di Agam yang berkuku emas. Kuku emas itu ditempelkan di kuku yang sebenarnya. Ida mencatat bahwa semakin panjang kuku emas itu, semakin naik gengsi wanita itu di mata masyarakat (lihat: Pfeiffer 1852). Jadi, kalau sekarang banyak wanita mamanggakan kukunya yang berkutek mahal, itu mah masih masih keciiil di mata wanita Agam zaman dulu.
Sekarang warna kuning emas masih mendominasi penampilan penganten Minangkabau. Namun, sayangnya makin lama model pakaian penganten Minang makin seragam. Berbagai variasi lokal makin menghilang. Globalisasi, seperti sering dikeluhkan, telah membuat banyak hal di dunia ini, yang fisik maupun yang non-fisik, makin seragam.
Kedua foto ini (yang sebelah kiri berukuran 16×9,5 cm. dan yang sebelah kanan berukuran 15,5×9,5 cm.) dibuat tahun 1890. Mat kodaknya bernama Th. F.A. Delprat. Tampak bahwa pakaian marapulai (pengantin laki-laki) terdiri dari sisampiang dari songket balapak. Sedangkan baju dalamnya model kerah tutup yang dilapisi lagi dengan baju lengan panjang tanpa giwang. Celana panjang yang ditutup dengan sisampiang dipererat lekatnya dengan ikat pinggang besar yang biasanya dibuat dari logam seperti perak atau kuningan. Di situ, di bagian depan, diselipkan sebilah keris yang sarung dan tangkainya penuh ukiran. Kepala marapulai ditutupi dengan saluak runcing yang bentuknya cukup unik.
Anak daro (penganten wanita) memakai kain dan baju yang khas pula. Kasutnya yang menutup bagian depan kaki cukup bagus dan cukup berbeda dengan kasut yang dipakai marapulai. Galang gadangnya sangat besar dan mencolok. Bagian leher penuh dengan untaian perhiasan berlapis-lapis yang terbuat dari emas dan perak. Sunting di kepala anak daro kelihatan cukup unik pula bentuknya. Sunting seperti itu sudah jarang kita lihat sekarang. Sementara di tangannya terdapat semacam pundi-pundi kecil dengan untaian giring-giring berumbai-umbai. Baik anak daro maupun marapulai kelihatan pula memegang bongkahan salapah, tanda penjemputan oleh andan-pasumandan kedua belah pihak.
Terlalu banyak emas dan perak beruntai-untai menghiasi pakaian penganten Minangkabau. Mungkin karena pakaian penganten adalah salah satu simbol hidup badunia. Wanita Minangkabau sudah dari dulu dimanjakan dengan emas. Ida Pfeiffer, seorang wanita pengelana Jerman yang melintas Luhak Agam dalam perjalanannya ke Tanah Batak pada 1850 terkesima melihat banyak wanita Minang di Agam yang berkuku emas. Kuku emas itu ditempelkan di kuku yang sebenarnya. Ida mencatat bahwa semakin panjang kuku emas itu, semakin naik gengsi wanita itu di mata masyarakat (lihat: Pfeiffer 1852). Jadi, kalau sekarang banyak wanita mamanggakan kukunya yang berkutek mahal, itu mah masih masih keciiil di mata wanita Agam zaman dulu.
Sekarang warna kuning emas masih mendominasi penampilan penganten Minangkabau. Namun, sayangnya makin lama model pakaian penganten Minang makin seragam. Berbagai variasi lokal makin menghilang. Globalisasi, seperti sering dikeluhkan, telah membuat banyak hal di dunia ini, yang fisik maupun yang non-fisik, makin seragam.
sumber:
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden/M. Joustra, Minangkabau: Overzicht van Land, Geschiedenis en Volk. Leiden: Louis H. Becherer, 1921, di depan hlm. 128).
0 Comments
EmoticonEmoticon