Pasar Payakumbuh Sekitar Tahun 1921

PASAR PAYAKUMBUH ternyata sudah cukup tua juga umurnya. Paling tidak sebelum pertengahan abad ke-19 sudah ada hari pakan yang menjadi cikal-bakal kota Payakumbuh sekarang. Demikian catatan beberapa orang Eropa yang pernah mengunjungi Luhak 50 Koto pada abad ke-19, misalnya Solomon Mller dan Lodewijk Horner dalam bukunya Reizen en en Onderzoekingen in Sumatra [] tussen de Jaren 1833 en 1838 (Perjalanan dan Penelitian di Sumatra [...] antara tahun 1833-1838) (s -Gravenhage: Fuhri, 1855).

Foto yang kami sajikan kali ini memperlihatkan suasana pasar Payakumbuh kurang dari 100 tahun yang lalu. Foto ini tercatat milik W.K.H. Ypes dan dibuat sekitar 1920. Di pasar itu baru ada sejenis los sederhana beratap rumbia, dan lapak-lapak tempat jualan seperti kasur. Di latar belakang terlihat orang-orang menggalas di bawah pohon-pohon kayu yang rindang. Pasar-pasar tradisional yang awal di Minangkabau memang diadakan di bawah pohon-pohon besar dan sering ditemukan pohon beringin besar sebagai pusatnya (Buys 1866:60;Van der Toorn 1898:44). Jadi, para pedagang dan pembeli agak terlindung dari sengatan sinar matahari. Jenis uang yang dipakai pada waktu itu ada beberapa macam, seperti Gulden Belanda dan apa yang disebut sebagai duit/pitih ayam .

Pakaian para pengunjung pasar itu cukup khas: kaum wanita memakai baju kurung harian yang, uniknya, hampir semuanya berwarna putih (mungkin dibuat dari sejenis kain ganiah). Baju itu dikombinasikan dengan kain sarung dan tutup kepala (tikuluak). Pakaian laki-laki kebanyakan baju bauba yang dikombinasikan dengan kain sarung dan kupiah. Pakaian ini sangat nyaman dipakai di daerah yang berhawa panas seperti negeri kita ini. Sampai tahun 1970-an di desa-desa Minangkabau masih terlihat banyak orang laki-laki berpakaian seperti ini. Sekarang pakaian tradisional ala Minangkabau ini sudah hampir lenyap dari pemandangan sehari-hari kita, dan sudah berganti dengan pakaian modern yang berasal dari budaya Barat. Sekarang terkadang kita merindukan bertemu lelaki Minang yang memakai baju bauba dan bercelana galembong dan wanitanya yang berbaju kurung, ber-selempang duya dan ber-tikuluak tanduak.


sumber:
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden).

0 Comments


EmoticonEmoticon