Potret Nagari Taram di Lima Puluh Kota Tahun 1910

Taram (sekarang masuk Kecamatan Harau) adalah salah satu nagari yang cukup terkenal di Luhak 50 Koto. Di nagari ini ditemukan beberapa peninggalan megalitik berupa bekas-bekas tempat tinggal manusia gua. Di akhir tahun 1980-an saya, waktu itu sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Andalas, melakukan praktek kuliah arkeologi dengan kawan-kawan ke Nagari Taram, yang dipimpin oleh dosen Arkeologi Drs. Surya Helmi. Kami mengunjungi gua-gua megalitik di dinding-dinding bukit Taram yang bibirnya bertemu dengan areal persawahan hijau. Di gua-gua itu ditemukan motif-motif dakon, juga kulit-kulit kerang, yang menunjukkan bekas-bekas hunian manusia purba.

Nagari Taram pernah mendapat perhatian khusus oleh antropolog Harsja W. Bachtiar, seperti terefleksi dalam artikelnya: Nagari Taram: A Minangkabau Village Community, dalam: Koentjaranigrat (ed.), Villages in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1967: 348-385). Di zaman Paderi. Nagari Taram pernah pula dijadikan target pemurnian agama oleh para pengikut Tuanku Nan Renceh. Surau yang terekam dalam foto di atas mungkin salah satu efek dari ekspansi agamis Kaum Paderi ke Taram. Belum dapat dipastikan apakah surau yang terekam dalam foto ini yang kemudian oleh orang Taram disebut Surau Tuo Taram.
Foto tentang Nagari Taram yang kami turunkan dalam rubrik kali ini dibuat pada tahun 1910. Foto ini, yang berukuran 9 x 13,7 cm., aslinya berupa kartu pos (prentbriefkaart) yang dicetak dengan teknik lichtdruk. Kartu pos ini diproduksi oleh Toko A.H. Tuinenburg di Padang. Di atasnya tertulis Kampung Taram te Pajacombo (Kampung Taram di Payakumbuh). Ini menunjukkan bahwa Nagari Taram sudah menjadi salah satu objek promosi wisata pedesaan (rural tourism) di Minangkabau sejak zaman kolonial.

Saya dapat mengerti sekarang mengapa di Belanda banyak desa menjadi objek kunjungan wisata: para turis dapat melihat cara orang beternak, membuat keju, membuat sandal kayu, dan lain sebagainya. Wisatawan bisa menginap di motel-motel kecil yang sederhana, yang menyajikan nuansa pedesaan Belanda. Ada yang menyewakan sepeda untuk dapat dipakai oleh turis berkeliling desa. Tampaknya konsep wisata pedesaan ini telah dikembangkan pula oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di negeri kita dulu. Sayangnya di zaman kemerdekaan sekarang wisata lebih sering diartikan pergi ke kota besar, masuk mall dan belanja berbagai macam barang. Mengapa misalnya, kita tidak mempromosikan wisata desa, dimana para wisatawan dapat melihat cara orang membuat lemang dan bika, beruk memetik kelapa, orang mengirik padi, dan lain sebagainya.


sumber:
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden).

0 Comments


EmoticonEmoticon