GARIS EKUATOR yang membagi bola dunia jadi dua melewati wilayah Indonesia, salah satunya adalah Pulau Sumatra. Sudah umum diketahui bahwa di Bonjol ada satu tugu khatulistiwa yang dibuat Belanda. Tapi banyak orang mungkin belum tahu bahwa ada satu tugu lagi yang dibuat Belanda untuk menandai garis ekuator yang ‘mengudung’ pulau Sumatra.
Tugu ekuator yang kedua itu, yang fotonya kami turunkan dalam rubrik kali ini, terletak di korong Kampung Jambak, Nagari Sunur, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman. Foto ini (10,5 x 10 cm.) dibuat antara 1925 - 1930. Judulnya “Aequator-monument bij Kampoeng Djambak op Padang Pariaman, Sumatra’s Westkust” (Monumen ekuator di Kampung Jambak, Padang Pariaman, Sumatra Barat). Tepat di atas puncak tugu ini garis khatulistiwa lewat merentang lurus ke atas tugu yang ada di Bonjol. Tidak diketahui siapa nama mat kodak foto ini.
Foto ini cukup unik: tugu dan manusia yang terekam dalam foto ini berwarna putih bersih. Kelihatan seorang bule (kemungkinan besar orang Belanda) yang memakai pakaian serba putih. Ia memegang suatu benda, mungkin sebuah teropong atau kamera. Tidak ada informasi siapa bule itu. Barangkali dia seorang peneliti (onderzoeker). Tapi ia memakai cepiau yang biasa dipakai oleh tuan kontrolir (controleur). Mungkin saja ia adalah kontrolir yang lagi bertugas di Padang Pariaman waktu itu.
Lima anak kecil itu, entah kebetulan atau tidak, juga memakai pakaian putih, mungkin dibuat dari jenis kain ganiah atau marekan. Tampaknya anak-anak itu sedang berdialog cukup akrab dengan si Belanda jangkung itu. Foto ini seperti menyembunyikan wajah bengis kolonialisme: putih, suci, tanpa letusan bedil dan jeritan kematian. Anak-anak itu agaknya sudah mengenal bangku sekolah, tidak seperti anak yang kampungan benar, yang lari menyuruk masuk pandan ketika orang putih datang. Pasti ada di antara kelima bocah Sunur itu yang setelah besar ‘menjadi orang’.
Monumen ekuator di Kampung Jambak ini masih ada sampai sekarang, walau sudah kurang terawat. Letaknya di pertigaan jalan di kaki jembatan Pasir Sunur: sesimpang menuju Ulakan, sesimpang menuju Kuraitaji dan sesimpang lagi menuju Pariaman (menyusuri pantai). Dalam foto ini ruas jalan yang menuju ke Ulakan (yang sekarang melewati korong Pasir Baru dan Muara) tampaknya belum ada; yang ada baru ruas jalan yang menuju Kuraitaji, yang sekarang menjadi jalan utama di Nagari Sunur.
Ketika masih kecil, seusia anak-anak dalam foto itu, saat akan pergi dan pulang mandi dengan teman-teman di pantai Sunur yang ombaknya bak buni urang maimbau itu, penulis sering bersandar di tugu itu dan memandang puncaknya. Koto Rajo, desa kelahiran penulis adalah salah satu korong Nagari Sunur, yang terletak sekitar 2 km. dari tugu itu. Kelima bocah Sunur yang terekam dalam foto itu mungkin pernah berpikir bisa menjejakkan kaki di Belanda, kampung si bule berkaos putih itu. Enam puluh tahun kemudian seorang putra Sunur yang lain terdampar di negeri penjajah itu.
Foto ini cukup unik: tugu dan manusia yang terekam dalam foto ini berwarna putih bersih. Kelihatan seorang bule (kemungkinan besar orang Belanda) yang memakai pakaian serba putih. Ia memegang suatu benda, mungkin sebuah teropong atau kamera. Tidak ada informasi siapa bule itu. Barangkali dia seorang peneliti (onderzoeker). Tapi ia memakai cepiau yang biasa dipakai oleh tuan kontrolir (controleur). Mungkin saja ia adalah kontrolir yang lagi bertugas di Padang Pariaman waktu itu.
Lima anak kecil itu, entah kebetulan atau tidak, juga memakai pakaian putih, mungkin dibuat dari jenis kain ganiah atau marekan. Tampaknya anak-anak itu sedang berdialog cukup akrab dengan si Belanda jangkung itu. Foto ini seperti menyembunyikan wajah bengis kolonialisme: putih, suci, tanpa letusan bedil dan jeritan kematian. Anak-anak itu agaknya sudah mengenal bangku sekolah, tidak seperti anak yang kampungan benar, yang lari menyuruk masuk pandan ketika orang putih datang. Pasti ada di antara kelima bocah Sunur itu yang setelah besar ‘menjadi orang’.
Monumen ekuator di Kampung Jambak ini masih ada sampai sekarang, walau sudah kurang terawat. Letaknya di pertigaan jalan di kaki jembatan Pasir Sunur: sesimpang menuju Ulakan, sesimpang menuju Kuraitaji dan sesimpang lagi menuju Pariaman (menyusuri pantai). Dalam foto ini ruas jalan yang menuju ke Ulakan (yang sekarang melewati korong Pasir Baru dan Muara) tampaknya belum ada; yang ada baru ruas jalan yang menuju Kuraitaji, yang sekarang menjadi jalan utama di Nagari Sunur.
Ketika masih kecil, seusia anak-anak dalam foto itu, saat akan pergi dan pulang mandi dengan teman-teman di pantai Sunur yang ombaknya bak buni urang maimbau itu, penulis sering bersandar di tugu itu dan memandang puncaknya. Koto Rajo, desa kelahiran penulis adalah salah satu korong Nagari Sunur, yang terletak sekitar 2 km. dari tugu itu. Kelima bocah Sunur yang terekam dalam foto itu mungkin pernah berpikir bisa menjejakkan kaki di Belanda, kampung si bule berkaos putih itu. Enam puluh tahun kemudian seorang putra Sunur yang lain terdampar di negeri penjajah itu.
sumber:
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden).
1 Comments:
Mohon kalo ada foto tugu yg sekarang tolong ditampilkan..
EmoticonEmoticon