Tulisan ini diambil dari laporan arsip Handel uit de Regerings
Almanak 1878. Dalam arsip itu dikatakan, perkebunan tembakau di Sumatera
Barat telah booming pada akhir abad ke-19, salah satu sentral dari
tembakau pada masa itu ada di Payakumbuh.
Namun, kualitas tembakau Payakumbuh masih kalah mentereng dengan
kualitas tembakau Deli, sehingga produksi tembakau di daerah ini tidak
bisa diekspor ke Eropa. Mengapa kualitas tembakau di Payakumbuh menurut
pemerintah kolonial Belanda jelek? Ternyata, penyebabnya kurang
perhatian dan perawatan dari buruh-buruh tembakau. Akhirnya tembakau
Payakumbuh pun hanya laku dijual di Sumatera, Jawa, dan beberapa
kepulauan di nusantara. Pada 1914 jumlah total ekspor tembakau
Payakumbuh, mencapai 1.560.000 kg.
Salah satu daerah potensi tembakau rajangan yang masih bertahan
berada di perkebunan rakyat Situjuh Bandar Dalam Kabupaten 50 Kota.
Bahkan, menurut situs Deptan.go.id bahwa prospek usaha tani untuk tembakau rakyat di Kab. 50 Kota ini cukup menjanjikan.
Hal ini dari harga di tingkat petani yang cukup tinggi yaitu sekitar
Rp 50.000 – Rp 70.000 per kg rajangan kering. Tembakau rajangan khas
Payakumbuh, selain untuk memenuhi kebutuhan lokal, menurut situs ini
juga di ekspor ke Malaysia dan Singapura melalui pelabuhan Batam.
1 Comments:
Baru tau, dlu ada perkebunan tembakau...
EmoticonEmoticon