Rumah Gadang Minangkabau adalah
salah satu kekayaan arsitektur tradisional Indonesia yang cukup
menonjol. Banyak pengembara asing yang mengunjungi Minangkabau di masa
lampau takjub melihat keindahan dan kerumitan arsitektur Rumah Gadang,
tidak terkecuali Thomas Stamford Raffles, Gubernur Inggris yang sebentar
menguasai Hindia Belanda itu. [W]ell most built,many of them very
highly ornamented,and coloured with red, white, and black, katanya,
sebagaimana dikutip oleh Jeffrey Hadler dalam Muslims and Matriachs (2008:42) yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Istitute, 2010).
Selain sandi-nya yang
terbuat dari batu, hampir seluruh bagian Rumah Gadang terbuat dari kayu.
Oleh karena itu pula banyak Rumah Gadang tidak dapat bertahan lama.
Atapnya terbuat dari ijuk. Sejak awal abad ke-20 atap ijuk ini sudah
mulai diganti dengan atap seng (sirap) dan tangga utama di depan juga
sering diganti dengan tangga batu.
foto klasik renovasi sebuah Rumah
Gadang di Palembayan sekitar 1895. Kelihatan sebuah Rumah Gadang yang
sudah roboh diperbaiki kembali. Beberapa orang kelihatan duduk mamak dan kemenakan. Yang berdiri agak terpencil dengan pakaian adat yang cukup lengkap mungkin seorang mamak kepala waris.
Kehancuran Rumah Gadang tidak hanya
karena lapuk di makan usia, tapi juga oleh ulah manusia Minangkabau
yang sering bergolak (ideologi, fisik) yang terus bersengketa tiada
pitus-putusnya. Banyak Rumah Gadang di desa-desa di darek musnah terbakar di zaman Paderi, di-sunu
dengan api oleh para pengikut Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman yang
radikal dan anti adat Minangkabau. Sepanjang abad ke-20 Zaman
Kemadjoean dan modernisasi yang merambah Minangkabau telah membuat
banyak orang Minang membangun rumah batu dan meninggalkan Rumah Gadang.
Banyak Rumah Gadang menjadi lapuk ditinggalkan penghuninya yang pergi
merantau (Cino). Di Zaman Bagolak (PRRI), tak sedikit Rumah Gadang yang
disirami bensin oleh anak buah Jendral Ahmad Yani, serak sumerai bungo api.
Dan di zaman globalisasi sekarang, api dan xenocentrism (pemujaan
kepada produk asing) serta ideologi Islam radikal terus menjadi unsur
pemusnah Rumah Gadang.
Dari rantau nan jauh sering saya mengimpikan mangalai di ruang tengah Rumah Gadang, tak peduli apakah Surambi Papek atau Gajah Maharam, sambil mendengarkan bunyi saluang, bansi atau genggong. Raso ka sajuak dalam hati, raso ka sanang kiro-kiro.
(Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam). Suryadi Leiden, Belanda.
0 Comments
EmoticonEmoticon